
©istimewa
Oleh: Abdurrahman Wahid
Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya1, kitab suci al-Qurân sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikan? Karena, seperti dikatakannya, kitab suci tersebut menggunakan peristilah an profesional untuk menyatakan halhal yang paling dalam dari lubuk hati manusia. Dengan demikian, al-Qurân memberikan penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut. “Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat kelak ia akan merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wahuwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS aliImran [3]: 85). Bukankah istilah merugi merupakan isti lah profesional dalam dunia perdagangan. Walaupun dalam ayat ini, kata merugi dimaskudkan untuk menunjuk hal yang paling dalam di hati manusia, yaitu tidak memperoleh pahala?
Istilah-istilah lain dari dunia profesi lain juga dipakai dalam pengertian yang sama oleh kitab suci al-Qurân. “Barang siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka ia akan melipatgandakan imbalannya (man dzal- ladzi yuqridhullâh qardhan hasanan fayudhâ’ifahu lahu)” (QS alBaqarah (2): 245). Kata pinjaman di sini, jelas menunjuk kepada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit seperti di bumi.
Ketika Allah Swt berfirman: “Barang siapa menginginkan panenan di akhirat kelak, akan Kutambahi panenannya (man kâna yurîdu harts al-âkhirati nazid lahu fi hartsihi)” (QS alSyu ra [42]:20). Panenan yang dimaksudkan sebagai pahala di akhi rat bagi perbuatan kita di dunia ini. Digunakannya istilahistilah perdagangan dan pertanian dalam al-Qurân untuk keinginan memperoleh pahala bagi amal perbuatan, merupakan penghar gaan yang sangat tinggi atas profesiprofesi manusia.
Dalam sebuah ayat suci al-Qurân dinyatakan: “Orang- orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû)” (QS alBaqa rah [2]:177). Ini jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ke tika mengucapkan prasetia?
Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas, jelas lah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada profesi. Pemahaman ini justru hilang dari kehidupan kaum mus limin dari beberapa abad silam, karena memberikan perhatian terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebijakankebijakan dan tindakantindakan mereka, alias memberi perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek politik dalam kehidupan bangsa bangsa muslim.
Sebagai akibat, perhatian atas masalahmasalah profesio nal ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, bangsa bangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat be sar kepada masalahmasalah profesionalisme. Dengan sendiri nya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai penerapan ajaranajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama lain.
Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya, diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional.
Kita ambil sebuah firman Allah dalam al-Qurân: “Jika kalian disapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan ungkapan yang lebih baik lagi (wa idzâ huyyîtum bitahiyya- tin fa hayyû bi ahsana minhâ)” (QS alNisa [4]:86). Jika ayat ini ditafsirkan dengan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang produsen barang, maka maknanya menjadi kalau ba rang produksi Anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas pujian baik yang di ucapkan.
Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pema haman lengkap terhadap kitab suci al-Qurân: kitab suci itu janganlah hanya dipahami sebagai dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pema haman sejarah masa lampau.
Jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaima na mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Is lam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepenting an orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakangerakan Islam dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan.
Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci al-Qurân: “Apa yang diberikan Allah kepada utusan- Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum nonMuslim (sekitar Madi nah), hanya bagi Allah, utusanNya, sanak keluarga terdekat, anakanak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menun tut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian (mâ afâ ‘a Allâhu alâ rasûlihi min ahli al-Qurâ fa lillâhi wa li ar-rasûlihi wa lidzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîni wa ibni al-sabîl, kaila yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’ minkum)” (QS alHasyr [59]:7). Ayai itu menjadi bukti bahwa Islam lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan men derita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan?
Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelas lah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan mak mur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diuta makan kitab suci tersebut daripada masalah bentuk negara.
Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum musli min, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidak mampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab ke melut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini.
Catatan kaki:
[1] Disertasi tersebut berjudul The Commercial –Theological Terms in the Koran terbit di Lieden 1892.
Tulisan ini dikutip sepenuhnya dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita, Jakarta: The Wahid Institute, 2006